A. Pemikiran reflektif terkait pengalaman belajar
- Goal (Tujuan): coach perlu mengetahui apa tujuan yang hendak dicapai coachee dari sesi coaching ini,
- Reality (Hal-hal yang nyata): proses menggali semua hal yang terjadi pada diri coachee,
- Options (Pilihan): coach membantu coachee dalam memilah dan memilih hasil pemikiran selama sesi yang nantinya akan dijadikan sebuah rancangan aksi.
- Will (Keinginan untuk maju): komitmen coachee dalam membuat sebuah rencana aksi dan menjalankannya.
Perasaan saya setelah mempelajari
modul 2.3 adalah saya merasa kurang puas, karena saya merasa masih banyak ilmu
yang belum saya ketahui. Merasa diri saya masih banyak kurang akan pengetahuan.
Berdasarkan dari materi-materi baru mengenai coaching dan alur TIRTA yang
digunakan, saya menjadi lebih tau bagaimana seharusnya coaching untuk supervisi
akademik diterapkan. Bagaimana membangun komunikasi sehingga membuat coachee
menceritakan apapun permasalahan yang sedang dihadapi dengan tenang dan
kekeluargaan. Berdasarkan hal itulah saya merasa sangat tertarik belajar
mengenai caoaching dengan alur TIRTA, secara lebih dalam.
Setelah saya mempelajari dan
mempraktikkan coaching dengan alur TIRTA, maka saya menemukan kunci bahwa
dengan praktik menerapkan kompetensi yang harus dimiliki coach terhadap coachee
yakni bisa hadir secara Penuh/Presence, mendengarkan secara aktif,
mengajukan pertanyaan berbobot dan mendengarkan dengan RASA. sangat membantu
saya ketika menjadi coach dalam kegiatan coaching.
Coaching dengan menerapkan alur TIRTA,
masih belum dapat saya terapkan secara optimal. Praktik dengan menggunakan alur
TIRTA memang tidak mudah karena memancing coach dengan menggunakan pertanyaan
berbobot sehingga mengajak mengambil keputusan yang bertanggung jawab itu tidak
mudah, dan menurut saya masih perlu membutuhkan banyak latihan.
Setelah mempelajari dan praktik coaching untuk supervisi akademik dengan menggunakan alur TIRTA saya merasa mampu untuk menjadi coach yang baik yakni mampu hadir secara penuh, mendengarkan secara aktif, dan mendengarkan dengan RASA. Dengan memiliki kompetensi tersebut saya merasa memiliki kematangan dalam kepribadian sehingga mampu berkomunikasi dan menjadi coach yang baik untuk rekan sejawat saya.
B. Analisis untuk implementasi dalam konteks CGP
Setelah saya mempelajari materi pada modul 2.3 Coaching
untuk supervisi akademik saya menemukan konsep coaching bahwa dalam melakukan
coaching pada supervisi akademik dapat diterapkan dengan alur TIRTA pada
tahapan kegiatannya. Alur TIRTA tersebut yang akan membantu coach dalam
mengoptimalkan kemampuan coachee dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi.
Akan tetapi pada praktiknya yang menjadi pertanyaan saya selama praktik
coaching menggunakan alur TIRTA adalah ketika coachee menanyakan solusi pada
coach pada permasalahan yang dihadapainya. Pertanyaan lain yang cukup
mengganggu berdasarkan analisa saya adalah mengenai tahapan Alur TIRTA apakah
harus diterapkan secara runtut, dan harus sesuai dengan tahapannya.
Berdasarkan pada analisa dan pertanyaan-pertanyaan yang
muncul tersebut, maka simpulan saya adalah coaching dapat digunakan untuk
supervisi akademik pada tahapan pasca supervisi akademik. Pada tahapan tersebut
yang biasanya kepala sekolah menjadi supervisior bisa memposisikan diri sebagai
coach, yang kemudian dalam praktiknya menggunakan alur TIRTA sehingga coachee
dapat merasa lebih nayaman dan menemukan solusi sesuai dengan kemampuan yang
telah dimilikinya.
Tantanngan-tantangan yang biasanya muncul pada saat
melaksankanakan coaching adalah penyesuaian waktu antara coach dan cochee.
Selain itu tantangan yang biasanya muncul adalah kondisi iklim bekerja dalam
sekolah yang belum terbiasa dengan coaching melalui tahapan alur TIRTA.
Tantangan ini muncul karena kurangnya pemahaman saya yang sama dengan kegiatan
coaching dengan menggunakan alur TIRTA.
Solusi untuk menghadapi tantangan tersebut adalah dengan cara mensosialisasikan dan melakukan diseminasi baik kepada kepala sekolah maupun kepada rekan guru mengenai coching untuk supervisi akademik dengan alur TIRTA dan menggunakannya dalam kegiatan supervisi akademik di sekolah. Melalui 2 solusi tersebut, harapannya guru dan kepala sekolah terbiasa menggunakan coaching dengan alur TIRTA.
C. Keterhubungan
Sebelum mempelajari modul 2.3 yang saya pahami mengenai
coaching adalah sama dengan supervisi. Coach saya pahami sama dengan
supervisior. Jadi pemahaman saya segiatan supervisi akademik itu adalah
termasuk pada coaching yang dilakukan pada tahapan pasca obervasi, dimana
supervisior/coach yang saya pahami memberikan solusi dan menilai dari coachee
yang sedang dibina oleh supervisior.
Setelah saya memahami materi lebih mendalam tentang
penerapan coaching ini, saya memahami bahwa coaching adalah proses kolaborasi yang berfokus
pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi
peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan
pertumbuhan pribadi dari coachee. Untuk kedepannya, di
lingkungan sekolah saya dapat menerapkan kegiatan coaching untuk supervisi
akademik, karena dengan kolaborasi dan berfokus solusi dapat menjadi solusi
untuk kegiatan supervisi akademik yang biasanya kaku akan mejadi lebih humanis,
dan coaching dengan paradigma kemitraan dapat membantu keterlaksanaan supervisi
akademik.
Praktik baik yang
sudah saya laksanakan pada materi coaching untuk supervisi akademik
adalah dengan melakukan diseminasi rekan sejawat. Praktik baik lain
adalah mempraktikkan coaching pada kegiatan supervisi akademik tentang
pembelajaran di kelas bersama rekan sejawat saya dan rekan lintas mapel.
Setelah melakukan praktik coaching dengan rekan sejawat, testimoni yang
diberikan sejawat saya adalah penerapan coaching ini sangat membantu dalam
mengoptimalkan potensi coachee dalam mengatasi permasalahan yang dihadapinya,
coachee juga merasa senang dengan penerapan coaching dengan alur TIRTA karena
tidak merasa diintervensi tetapi merasa diberikan ruang untuk mengkomunikasikan
ide dan gagasannya.
Setelah saya mempelajari materi coaching dengan alur TIRTA, kemudian saya juga menambah wawasan saya dengan banyak bertanya kepada rekan-rekan guru yang telah berpengalaman, kemudian membaca teori dari William Auchi. Dari beberapa teori yang saya pelajari tersebut kemudian saya simpulkan bahwa keterampilan coaching ini memang harus dimiliki oleh soerang guru atau pemimimpin pembelajaran karena dengan menerapkan coaching di kelas maka seorang guru akan lebih dapat humanis dan dapat melihat perpsektif yang lebih luas sehingga di dalam memimpin pembelajaran juga dapat menjadi coach dalam pembelajaran berdiferensiasi dan pembelajaran sosial emosional.
Demikian hasil refleksi semoga bermanfaat !
1 Komentar
Mantap Semangat Belajarnya Pak
BalasHapusTerima kasih atas kunjungannya
Emoji