Filosofi pendidikan KHD adalah pendidikan yang humanis, yang menghargai kebebasan dan kemerdekaan anak, yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya setempat, menjunjung tinggi rasa kebangsaan, nasionalisme, dan semangat patriotisme. Membuka ruang kepada anak untuk berkenalan dengan gagasan-gagasan baru serta tidak takut dengan ide-ide baru juga merupakan filosofi pendidikan KHD. Namun, meskipun peserta didik diajari gagasan atau konsep baru yang berbeda dengan nilai-nilai lokal, KHD berpendapat bahwa:
“Dalam melakukan pembaharuan yang terpadu, hendaknya selalu diingat bahwa segala kepentingan anakanak didik, baik mengenai hidup diri pribadinya maupun hidup kemasyarakatannya, jangan sampai meninggalkan segala kepentingan yang berhubungan dengan kodrat keadaan, baik pada alam maupun zaman. Sementara itu, segala bentuk, isi dan wirama (yakni cara mewujudkannya) hidup dan penghidupannya seperti demikian, hendaknya selalu disesuaikan dengan dasar-dasar dan asas-asas hidup kebangsaan yang bernilai dan tidak bertentangan dengan sifat-sifat kemanusiaan” (Ki Hadjar Dewantara, 2009, hal. 21).
Upaya untuk mendidik anak
tersebut tidak terlepas dari Tripusat Pendidikan: Lingkungan Keluarga,
Lingkungan Sekolah, dan Lingkungan Masyarakat (Wiryopranoto et al., 2017).
Ketiga unsur tersebut adalah stakeholder sekolah yang wajib turut terlibat dan
bersinergi dalam pendidikan anak. Pada unsur sekolah, khususnya, KHD
menempatkan guru sebagai figur sentral dalam filosofi pendidikannya. Figur guru
harus memenuhi Trilogi Kepemimpinan yang diformulasi oleh KHD dan menjadi
semboyan pendidikan yang sangat populer hingga saat ini: Ing Ngarsa Sung
Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Semboyan ini berarti guru
harus bisa menjadi panutan dan teladan, guru harus mampu membangun dan
mencetuskan ide-ide, dan guru harus mampu menjadi pendorong, motivator, dan
pembimbing.
Berdasarkan
uraian singkat diatas, terdapat beberapa hal menarik yang dapat dikaji dalam
konteks pendidikan kita saat ini. Pertama, KHD sejak awal sudah sangat
menjunjung tinggi Agency anak sebagai
manusia. Apa yang saya maksud sebagai Agency adalah kekuatan,
daya, dan kemerdekaan untuk bertindak atau memilih tindakan sendiri dengan
sadar (Bandura, 1986; Hitlin & Elder (2007). Dalam konteks pembelajaran, Learner
Agency adalah ketika proses belajar melibatkan aktivitas dan
inisiatif dari anak melampaui input yang diberikan oleh guru dalam
pembelajaran. Memberikan kebebasan dan kemerdekaan pada anak untuk
bereksplorasi dalam pembelajaran dapat melatih anak untuk berpikir mandiri,
kreatif, inovatif, dan kolaboratif. Tentunya filosofi pendidikan KHD ini masih
sangat relevan dan bahkan dapat diterapkan dalam rangka mempersiapkan diri
untuk hidup pada abad 21 dimana beberapa skill menjadi sangat fundamental
diantaranya Critical Thinking, Creativity, Communication, dan Collaboration.
Kedua, KHD
sangat menjunjung tinggi kedudukan anak atau peserta didik dalam pendidikan.
Slogan KHD dimana guru harus ‘menghamba pada anak’ seringkali
menjadi slogan guru dimana guru diharuskan untuk mengikhlaskan diri dan
mengobarkan diri untuk anak. Dalam konteks pendidikan dan pengajaran
kontemporer, tentunya slogan ‘menghamba pada anak’ tidak dapat diartikan dan
diterapkan secara literal. Secara harfiah, kata ‘menghamba’ memiliki implikatur
pragmatik bahwa salah satu pihak merupakan subordinat bagi yang lain. Sementara
itu, pendidikan modern mendorong pergeseran peran guru-murid dari yang dulunya
guru sebagai otoritas tunggal di kelas menjadi guru sebagai co-learner.
Relasi kuasa antara guru-murid dihilangkan sehingga dapat menciptakan ruang
kolaborasi antara guru-murid dan murid-murid. Dalam konteks pendidikan
mutakhir, saya lebih memilih untuk mengartikan ‘menghamba pada murid’ sebagai
anjuran KHD untuk mendedikasikan tenaga dan pikiran untuk kepentingan
pendidikan anak dengan memberi peran yang semakin besar kepada anak sehingga
proses co-learning terbentuk
dan pembelajaran kolaboratif menjadi sebuah budaya di sekolah.
Secara
konseptual, pemikiran-pemikiran KHD sangat relevan pada masa kini terutama di
Indonesia dimana penyimpangan dan gejala-gejala ketidakpatuhan hukun dan
nilai-nilai budaya menjadi nyata terlihat. Penerapan pendidikan budi pekerti,
anjuran student-centered
learning yang tersirat dari pemikiran KHD, membudayakan
pembelajaran kolaboratif, demokratis, terbuka, dan progresif justru seringkali
tidak dipraktekkan di sekolah-sekolah di Indonesia. Setidaknya gejala itu yang
saya lihat sebagai guru. Potret pendidikan kita justru lebih banyak menggunakan
pembelajaran terpusat pada guru (teacher–centered)
yang menutup ruang kolaborasi. Terlebih lagi, banyak guru, sekolah, dan pihak
berwenang yang mengerdilkan ruang demokrasi, inovasi, dan kreatifitas serta
antipati dengan hal-hal baru. Sebagai contoh, masih banyak sekolah yang justru
melarang pemanfaatan teknologi untuk pembelajaran, padahal anak-anak mereka
tengah hidup pada era teknologi. Jika melarang, tidakkah justru sekolah menjadi
penyebab kemunduran anak? Justru sekolahlah yang menjadi biang kemunduran dan
ketidaksiapan anak untuk hidup berkompetisi dalam era teknologi ini.
Permasalahan lain adalah seringnya kita jumpai guru dengan pemikiran
konservatif dan tidak progresif. Banyak guru-guru yang mengeluh dengan
perubahan kurikulum, metode, strategi, teori dan lain sebagainya padahal
perubahan adalah sebuah keniscayaan dalam pendidikan karena pendidikan sifatnya
dinamis.
Realitas-realitas
tersebut suka atau tidak memang terjadi. Perlu upaya strategis, sistematis, dan
menjangkau semua untuk melakukan perbaikan. Gagasan-gagasan KHD yang hingga
kini masih relevan perlu digaungkan kembali melalui program-program seperti
Guru Penggerak, Merdeka Belajar, dan program-program strategis lainnya.
Pengembangan keprofesian berkelanjutan dan mengaktifkan kembali
komunitas-komunitas guru juga perlu dihidupkan kembali sehingga komunitas
praktik baik (best
practice) diskursus-diskursus tentang pendidikan mutakhir dapat
menjadi budaya pada Trisentra Pendidikan menurut KHD, sehingga seluruh
perangkat pendidikan kita di Indonesia bergerak secara bersama-sama.
Sebagai guru,
saya percaya bahwa memberi ruang sebesar-besarnya untuk berinovasi dan
berkreasi, mengupayakan pembelajaran yang berpusat pada murid, dan filosofi
pendidikan KHD telah saya jalankan. Namun, setelah mengenal lebih jauh
pemikiran-pemikiran KHD, saya merasa belum cukup optimal dalam menjalankan
Trilogi Kepemimpinan KHD: Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun
Karsa, Tut Wuri Handayani. Saya berasumsi demikian karena saya
merasa belum cukup maksimal berperan sebagai penggerak di lingkungan sekolah
dan masyarakat. Tentu kontribusi aktif seluruh pihak untuk menggerakkan lingkungan
sekolah dan masyarakat kita menuju transformasi pendidikan sangat dibutuhkan,
akan tetapi guru sebagai ujung tombak transformasi tersebut tetap harus menjadi
garda terdepan.
Referensi :
0 Komentar
Terima kasih atas kunjungannya
Emoji